BAB
I
PENDAHULUAN
Indonesia
terkenal dengan khasanah tanaman obatnya. Namun deinikian, praktikum sekaligus
pengembangan tanaman obat Indonesia dirasakan belum maksimal. Padahal, dunia
barat kini diliputi semangat kembali ke alam, salah satunya mencari upaya
pengobatan melalui bahan-bahan yang tersebar di alam (Pusat data &
Informasi PERSI, 2001).
Jauh sebelum pelayanan
kesehatan internal dengan obat-obatan modern menyentuh masyarakat. Selain bagi
ekonomi, efek samping ari obat herbal sangat kecil. Oleh karena itu, penggunaan
obat herbal alami dengan formulasi yang sangat penting dan tentunya sangat aman
dan efektif.
Penggunaan
tanaman obat untuk penyembuhan suatu penyakit didasarkan pada pengalaman secara
turun-temurun diwariskan ke generasi berikutnya.
Sementara
itu pengujian dan praktikum secara ilmiah terhadap obat tradisional masih
kurang, sehingga pemakaian secara medis belum dapat dipertanggung jawabkan
untuk menunjang secara ilmiah agar mendapat tempat yang lebih luas dalam
masyarakat maka perlu diadakan tahap-tahap praktikum terhadap obat
tradisisonal.
Salah
satu tumbuhan yang digunakan secara empirik sebagai obat tradisional adalah Daun
Mengkudu (Morinda Citrifolia). Suku Rubiceae, secara tradisional tumbuhan
ini digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti Hipertensi, Sakit
kuning, Demam, Influenza, Batuk, Sakit perut; Menghilangkan sisik pada kaki (Ling,
Schinith, 2004).
Praktikum mengenai ekstraksi
dan identifikasi kandungan kimia tumbuhan sangat diperlukan untuk mengetahui metode
ekstraksi, cara-cara ekstraksi, serta identifikasi komponen kimia yang
terkandung dalam suatu simplisia, oleh karena itu dalam usaha meningkatkan
pemanfaatan tumbuhan obat dan pencarian bahan baku alamiah, maka sebagai
langkah awal dipandang perlu untuk melakukan praktikum mengenai ekstraksi dan
identifikasi kandungan kimia Daun mengtkudu, yang terlarut dalam pelarut
metanol, dietil eter, dan n-butanol..
Maksud dari praktikum ini untuk mengekstraksi dan mengidentifikasi
komponen kimia Daun mengtkudu secara maserasi dan kromatografi lapis tipis.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Uraian
Tumbuhan
1. Klasifikasi
Tumbuhan
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Caryophyllales
Suku : Amaranthaceae
Genus : Celosia
Jenis : Celosia argentea Linn
2. Morfologi
Tumbuhan
Bunga adalah batang dan daun yang
termodifikasi. Modifikasi ini disebabkan oleh dihasilkannya sejumlah enzim yang
dirangsang oleh sejumlah fitohormon tertentu. Pembentukan bunga dengan ketat
dikendali secara genetic dan pada banyak jenis diinduksi oleh perubahan
lingkungan tertentu, seperti suhu rendah, lama pencahayaan, dan ketersediaan
air. Bungan hamper selalu berbentuk simetris, yang sering dapat digunakan sebagai
penciri suatu takson. Ada dua bentuk bunga berdasar simetri.
(Celosia argentea Linn) termasuk jenis
kopi-kopian. Mengkudu dapat tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian
tanah 1500 meter diatas permukaan laut. Mengkudu merupakan tumbuhan asli dari
Indonesi. Tumbuhan ini mempunyai batang tidak terlalu besar dengan tinggi pohon
3-8 m. Daunnya bersusun berhadapan, panjang daun 20-40 cm dan lebar 7-15 cm.
Bunganya berbentuk bungan bongkol yang kecil-kecil dan berwarna putih. Buahnya
berwarna hijau mengkilap dan berwujud buah buni berbentuk lonjong dengan
variasi trotol-trotol. Bijinya banyak dan kecil-kecil terdapat dalam daging
buah. Pada umumnya tumbuhan mengkudu berkembang biak secara liar di hutan-hutan
atau dipelihara orang pinggiran-pinggiran kebun rumah.
3. Kandungan
Kimia
Buah
buni tumbuhan mengkudu yang telah masak mempunyai aroma yang tidak sedap, namun
mengandung sejumlah zat yang berkhasiat untuk pengobatan. Adapun kandungan zat
tersebut antara lain morinda diol, morindone, morindin, damnacanthal, metil
asetil, asam kapril dan sorandiyiol.
4. Kegunaan
Hipertensi,
Sakit kuning, Demam, Influenza, Batuk, Sakit perut; Menghilangkan sisik pada
kaki;.
B.
Metode
Ekstraksi
Ekstraksi
adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan bagian
tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan
begitu pula ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut
tertentu untuk mengekstraksinya ( Tobo F, dkk, 2001).
Umumnya
zat aktif yang terkandung dalam tumbuhan maupun hewan lebih mudah tarut dalam
petarut organik. Proses terekstraksinya zat aktif dimulai ketika pelarut
organik menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga set yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan terlarut sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif di dalam sel dan pelarut organik di luar sel, maka larutan
terpekat akan berdifusi ke luar sel, dan proses ini akan berulang terus sampai
terjadi keseimbangan antara konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel
(Tobo F, dkk, 2001).
Jenis-jenis
ekstraksi :
1. Ekstraksi
secara maserasi
Maserasi adalah cara penyaringan ynag sedehana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama
beberapa hari (biasanya 5 hari) pada temperatur kamar dan terlindung dari
cahaya.
Maserasi
umumnya dilakukan dengan cara memasukkan simplisia yang sudah diserbukkan
dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian ke dalam bejana maserasi yang
di lengkapi dengan pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan
penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada suhu kamar, terlindung dan
cahaya sambil berulang-ulang diaduk, seteiah 5 hari disaring ke dalam wadah
penampung, kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyani lagi
secukupnya dan diaduk kemudian disaning lagi hingga diperoleh sari sebanyak 100
bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung
dan cahaya selama 2 hari,endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dan
dipekatkan (Tobo F, dkk, 2001, Samulsson, 1999).
Metode maserasi merupakan
cara penyarian yang sederhana, dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari, selama beberapa hari pada suhu kamar, terlindung dan
cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang komponen
kimianya mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks,
dan lilin.
2. Ekstraksi
secara perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yqang
dilakukan dengan mengalirkancairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah
dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan cara perkolasi adalah serbuk simplisia
ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang pada bagian bawahnya diberi sekat
berpori.
3. Ektraksi
secara soxhletasi
Soxhlet adalah merupakan penyarian simplisia secara
berkesinambungan, cairan penyari di dalam labu alas bulat dipanaskan sehingga
menguap, dan uap cairan penyari mengembun menjadi molekul-molekul air oleh
pendingin balik dan jatuh ke dalam selongsong membasahi simplisia sambil
mengekatraksi zat aktif yang ada di dalam sel-sel simplisia dan selanjutnya
masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melalui pipa kapiler (sifon),
proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif yang sempurna yang ditandai
dengan beningnya cairan penyari yang bmelalui pipasifon (sekitar 20-25 kali
sirkulasi) atau jika diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis tidak
menampakkan noda lagi.
4. Ekstraksi
secara refluks
Refluks adalah penyarian yang termasuk dalam
metode berkesinambungan, cairan penyari secara kontinyu menyari zaqt aktif
dalam simplisia.cairan penyari dipanaskan sehingga menguap dan uap cairan
penyari tersebut selanjutnya mengalami kondensasi (pengembunan) pada pendingin
balik menjadi molekul-molekul cairan penyari yangselanjutnya jatuh ke dalam
labu las bulat dan menyari zat aktif yang ada di dalam sel simplisia, proses
ini berlangsung secara berkesinambungan sampai ekstraksi dinyatakan selesai.
5. Ekstraksi
secara destilasi uap air
Destilasi dilakukan dengan cara mendidihkan
sampel dalam katel atau dengan cara mengalirkan uap jenuh (saturated or
superheated) dari katel pendidih air ke dalam katel penyulingan.
6. Ekstraksi
secara infusa
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan
menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 900 C
selama 15 menit.
7. Ekstraksi
Cair - Cair
Ekstraksi
cair - cair adalah suatu metode ekstraksi yang menggunakan corong pisah
sehingga biasa juga disebut dengan ekstraksi corong pisah.
Kata
cair-cair berarti bahwa dua cairan yang dicampur di dalam proses ekstraksi. Ini
berarti bahwa kedua cairan itu akan membentuk dua lapisan ketika dicampur bersama
seperti air dan pelarut organik (dietil eter, dikiorometan, n– butanol, dll.).
Senyawa-senyawa yang lebih larut dalam lapisan organik akan tertarik ke lapisan
organik sedangkan senyawa-senyawa yang lebih larut dalam lapisan air akan
tertarik ke air. Jadi ekstraksi cair-cair adalah suatu proses pemisahan yang
didasarkan pada kelarutan relatif dan zat terlarut di dalam dua pelarut yang
tidak bercampur. Dua pelarut yang tidak bercarapur dikocok di dalam corong
pisah hingga membentuk dua lapisan antarmuka dan pelarut. Tetesan-tetesan kecil
dan kedua pelarut akan menjadikan luas permukaan yang lebih besar dan
mempercepat terjadinya kesetimbangan zat terlarut antara dua sistem pelarut.
Proses ini disebut ekstraksi atau partisi sampel antara dua pelarut. Pengocokan
dihentikan dan pelarut yang tidak bercampur akan memisah. Dimana zat terlarut
melarut dengan mudah dan menjadi lebih pekat di dalam pelarut dimana
kelarutannya lebih besar. Lapisan cairan yang berada di atas dan yang berada di
bawah itu bergantung kepada kerapatan relatif dan kedua pelarut. Pelarut yang
lebih ringan akan berada di lapisan atas (Misalnya eter) dan pelarut yang lebih
berat akan berada di lapisan bawah (Misalnya air).
Pemisahan
sebagian terjadi ketika sejumlah zat terlarut mempunyai kelarutan relatif yang
berbeda di dalam dua pelarut yang digunakan. Koefisien distribusi menentukan
perbandingan konsentrasi dan zat terlarut di dalam masing - masing pelarut.
Senyawa - senyawa yang dipisahkan tetap kontak di dalam kedua pelarut dan
terlarut di dalam masing - masing pelarut sesuai dengan perbandingan yang
ditentukan oleh koefisien distribusi (Pavia, 1985).
Berulang terus sampai terjadi
keseimbangan antara konsentrasi zat akatif di dalam dan di luar sel. (Tobo. F,
dkk. 2001),
D.
Kromatografi
Lapis Tipis
Kromatografi
lapis tipis adalah salah satu cara analisis yang digunakan untuk memisahkan
komponen secara cepat berdasarkan prinsip adsorpsi dan partisi. Metode ini
sangat sesuai untuk analisis kualitatif campuran dalam skala mikro.
Kromatografi ini menggunakan lempengan kaca atau aluminium yang dilapisi dengan
adsorben berupa serbuk halus yang serba rata pada lempeng dengan ketebalan 0,1
- 0,25 mm.
Kromatografi
lapis tipis dapat dianggap sebagai kromatografi kolom terbuka. Selapis tipis
fase diam dilekatkan pada lempeng gelas/plastik/aluminium. Kadang - kadang fase
diam ini ditempelkan dengan bantuan pelekat seperti gips, pati atau
polivinilalkohol. Sampel ditotolkan atau ‘digariskan” pada salah satu ujung
kolom sejarak 1,5 - 2,5 cm di atas tepi bawah, kemudian tepi ini direndamkan
dalam suatu pelarut pengembang setinggi 0,5 - 1 cm dalam suatu bejana
kromatografi. Pelarut pengembang bergerak sepanjang lapisan fase diam
memisahkan komponen - komponen dalam contoh menjadi zona/noda pada lempeng.
Noda ini langsung dapat terlihat bila senyawanya berwarna. Namun hampir semua
senyawa obat tidak dapat dideteksi dengan radiasi tampak, karenanya noda
dideteksi dengan radiasi UV atau dengan semprotan pereaksi yang menghasilkan
warna. Beberapa senyawa obat dapat menghasilkan fluoresensi dan beberapa dapat
meredupkan fluoresensi. Untuk senyawa yang meredupkan fluoresensi lempeng KLT
diberi bahan pemendar, misalnya zink silikat (Harjana, 2003).
a. Fase
diam
Fase
diam dalam kromatografi lapis tipis adalah bagian yang bertindak sebagai
penjerap yang berupa padatan (silikagel, alumina, kieselguhr, selulosa,
polimida, dll.). Pemilihan penjerap terbaik ditentukan oleh senyawa yang akan
dipisahkan:
1. Sifat
kelarutan, apakah senyawa hidrofil atau lipofil.
2. Reaksinya
asam, basa atau netral.
3. Apakah
ada reaksi antara zat terlarut dengan penjerap atau pelarut pengembang.
Kalau zat terlarut bersifat
hidrofli maka dipakai selulosa, Kieselguhr atau polimida. Sedangkan kalau zat
terlarut bersifat lipofil dapat dipakai alumina, silikagel, asetil selulosa
atau polimida.
b. Fase
Gerak
Fase
gerak di dalam KLT adalah bagian yang bertindak sebagai pelarut pengembang yang
akan membawa senyawa – senyawa yang akan dipisahkan dalam arah menaik.
Pemilihan pelarut yang terbaik merupakan tahap yang kritis. Kalau komponen
dalam campuran sama sekali
tidak diketahui maka pelarut terbaik dicari dengan “coba-galat” dengan
menggunakan KLT yang lebih kecil. Pendekatan yang paling rnudah adalah tes
kelarutan dan sampel. Kalau komponen diketahui indikasinya. maka sifat-sifat
fisika-kimia dapat dipakai sebagai pertimbangan pemilihan pelarut. Salah satu
cara adalah dengan menggunakan segitiga Stahl. Kebanyakan pelarut pengembang
terdiri dan kombinasi dua atau lebih pelarut organik, dengan tujuan agar
campuran ini rnempunyai sifat elusi diantara kedua pelarut yang tidak dapat
dicapai oleh satu pelarut saja. Pelarut untuk kromatografi harus semurni
mungkin agar didapat kromatogram yang tinerulang dan noda asal pengotor pelarut
dapat ditekan.
c. Konsentrasi
Sampel Untuk KLT
Untuk
mendapatkan pemisahan yang baik dan zona yang jelas maka konsentrasi sampel
yang digunakan untuk KLT haruslah sekecil mungkin. Konsentrasi yang besar dan
sampel akan memberikan zona pemisahan yang tumpang tindih (overload)
d. Identifikasi
dan Harga Rf
Identifikasi dan senyawa -
senyawa yang terpisah pada lapisan tipis lebih baik dilakukan dengan pereaksi
lokasi kimia dan reaksi – reaksi warna.
Tetapi lazimnya untuk
identifikasi menggunakan harga Rf. Harga Rf didefinisikan
sebagai berikut:
Rf
Faktor-faktor yang
mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi
harga Rf:
1. Struktur
kimia dan senyawa yang sedang dipisahkan
2. Pelarut
3. Tebal
dan kerataan dan lapisan penyerap
4. Sifat
dan penyerap dan derajat aktifitasnya
5. Kejenuhari
ruangan akan pelarut
6. Teknik
percobaan
7. Jumlah
cuplikan yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan
10. Konsentrasi
dan komposisi larutan yang diperiksa
11. Panjang trayek inigrasi
12. Ketidakhomogenan
kertas
13. Arah
serabut kertas
14. Kelembaban
udara ( Sastrohainidjojo, 1979)
BAB III
METODOLOGI
PRAKTIKUM
A. Alat dan bahan
1. Alat-alat yang digunakan
a. Alat
perkolator
b. Corong
gelas
c.
Corong pisah
d. Gelas
piala
e. Kamera
digital
f.
Lampu UV 366 nm
g. Seperangkat
alat KLTP
2. Bahan-bahan yang digunakan
a. Air
suling
b. Asam
sulfat p.a
c.
Daun Boroco (Celosia argentea LINN)
d. Dietil
eter p.a
e. Etil
asetat p.a
f.
Heksan p.a
g. Metanol
p.a
h.
Lempeng Silika gel F254
B. Prosedur Kerja
1. Pengambilan
Sampel
Sampel
berupa Daun Boroco (Celosia argentea
LINN) diambil dari daerah Kalimantan Timur kota Nunukan.
2. Pengolahan
Sampel
Daun
dibersihkan kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan tidak terkena
cahaya matahari langsung selanjutnya digunting kecil-kecil dan diserbukkan
dengan derajat halus serbuk 4/18. (Depkes, 1995)
3. Proses
Ekstraksi
a. Ekstraksi
sampel secara perkolasi dengan methanol
Percolator dicuci sampai bersih, dikeringkan
kemdian dibilas dengan methanol (sekaligus menguji kebocoran) dan dipasang
dengan kuat pada statif. Simplisia yang telah diserbuk ditimbang 150 gram
kemudian dibasahi dengan pelarut methanol dalam gelas kimia dan dibiarkan
megembang selama 3 jam. Setelah itu massa dipindahkan ke dalam percolator dan
diratakan dengan batang pengaduk, kemudian diberi kertas saring atau kapas pada
bagian atas massa (simplisia) lalu ditambahkan cairan penyari (sebaiknya
gunakan reservoir cairan penyari). Setalah percolator sudah penuh dengan cairan
penyari maka kran percolator dibuka dan tetasan perkolatnya diatur dengan
kecepatan 1 ml per menit. Perkolat yang keluar ditampung dalam wadah penampung,
sementara cairan penyari ditambah pada bagian atas percolator secara kontinu.
Perkolat dikumpulkan dan di enaptuangkan selama semalam. Filtrate dan endapan
dipisahkan, selanjutnya filtrate diuapkan hingga kering dan diidentifikasi
komponen kimianya secara kromatografi lapis tipisl. (Penuntun praktikum
fitokimia. 2010)
b. Ekstraksi
dengan dietil eter
Ekstrak kering metanol ditambahkan air
sebanyak 30 ml, kemudian diekstraksi dengan 30 ml dietil eter dalam corong
pisah sebanyak 3 kali. Lapisan eter dikumpulkan dan dikisatkan dengan rotavapor
sampai diperoleh ekstrak kental dan selanjutnya diuapkan pelarutnya hingga
kering. Ekstrak kering yang diperoleh
ditimbang. Sebagian ekstrak eter diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis
(Darise, 1992).
c. Ekstraksi
dengan n-butanol jenuh air
Lapisan air dan ekstrak eter selanjutnya
diekstraksi dengan 53 ml n-butanol jenuh air dalam corong pisah, dilakukan sebanyak 3-kali. Ekstrak
n-butanol yang diperoleh dikumpulkan dan kisatkan dengan rotavapor sampai
diperoleh ekstrak kental, selanjutnya diuapkan pelarutnya hingga kering.
Ekstrak kering yang diperoleh ditimbang. Sebagian ekstrak n-butanol
diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis (Darise, 1992).
4. Identifikasi
Komponen Kimia Secara Kromatografi Lapis Tipis
a. Lempeng
Kromatografi Lapis Tipis
Lempeng
yang akan digunakan adalah lempeng Silika gel F254 Sebagai fase
geraknya. Lempeng diaktifkan dalam oven pada suhu 105 - 110°C, selama 30 menit
(setelah diaktifkan lempeng dikeluarkan dan siap digunakan). (Harborne, 1987).
b. Cairan
pengelusi yang digunakan
1. Ekstrak
metanol menggunakan eluen etil asetat : etanol : air
2. Ekstrak
dietileter menggunakan heksan-etil asetat (8:2), (7:3), dan (6:4).
c. Penjenuhan
Chamber
Eluen
yang akan digunakan sebagai fase gerak dimasukkan ke dalam chamber yang
bertutup sebanyak 0,5 mm. Ke dalam eluen tersebut kemudian dimasukkan potongan
kertas saring yang dilebihkan sampai keluar dan chamber. Jika kertas saring
pada bagian luar chamber sudah basah menunjukkan bahwa chamber tersebut sudah
jenuh dan siap digunakan (Sudjadi, 1988).
d. Penotolan
Sampel Pada Lempeng
Dibuat garis lurus pada lempeng dengan menggunakan pensil
kira-kira pada jarak 1,0 cm dan bawah dan 0,5 cm dan bagian atas. Ekstrak
metanol. ekstrak eter dan sampel ditotolkan pada garis bagian bawah lempeng
dengan menggunakan pipa kapiler secara tegak lurus sehingga diperoleh penotolan
yang sempurna. Lempeng tersebut kemudian diangin-anginkan lalu dimasukkan ke
dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan eluen dengan menggunakan pinset.
Posisi lempeng berdiri dengan kemiringan ± 50 dan dinding chamber.
Chamber ditutup dan lempeng dibiarkan terelusi sampai batas tanda pada bagian
atas lempeng (Sudjadi, 1988).
e. Deteksi
noda dengan lampu UV- 366 nm
Lempeng
dikeluarkan dan chamber, diangin-anginkan sampai kering kemudian diamati di
bawah lampu UV-366 nm. Noda-noda yang tampak digambar di kertas kalkir dan
diberi keterangan dan warna sesuai penampakan yang terjadi (Sudjadi, 1988).
5. Deteksi
noda dengan H2S04 10 %
Noda - noda yang telah diamati dengan lampu
UV-366 nm disemprot dengan H2S04 10%, diangin-anginkan
kemudian dipanaskan pada suhu 100o C selama 3 - 5 menit hingga
diperoleh noda yang stabil. Noda yang tampak kemudian digambar pada kertas
kalkir dan diberi keterangan dan warna sesuai dengan penampakan yang terjadi
(Sudjadi, 1988).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil praktikum
Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) di ekstraksi
dengan menggunakan metode perkolasi menghasilkan ekstrak metanol, dieti eter
dan n-Butanol kemudian di identifikasi dengan Kromatografi lapis tipis menggunakan
cairan pengelusi khloroform-methanol-ari untuk ekstrak methanol dan dietil eter
dengan perbandingan (10:6:1), (15:6:1), (20:6:1) serta benzene etilasetat-n Heksan digunaka
ekstrak n-Butanol dengan perbandingan (6:4), (7:3), (8:2), (9:1).
Tabel 1. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak methanol
polar Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampak noda sinar UV 254 nm.
No urut Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
|
1
2
3
|
5,5
-
-
|
5,4
-
-
|
4,9
-
-
|
Merah
-
-
|
Merah
-
-
|
Merah
-
-
|
Tabel 2. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak methanol
polar Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampak noda H2SO4 10%.
No urut Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
|
1
2
3
|
6
6,1
-
|
4,9
5,5
6,1
|
5
-
-
|
Merah
Merah
-
|
Merah
Merah
Merah
|
Hijau
-
-
|
Tabel 3. Daftar nilai Rf
dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil eter polar Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampakan noda sinar UV 254 nm.
No urut Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||||
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
|
1
2
3
4
5
6
|
5.9
-
-
-
-
-
|
1,9
3,9
-
-
-
-
|
0,7
1,3
2
3
3,9
6,2
|
0,6
1,1
2
-
-
-
|
Orange
-
-
-
-
-
|
Coklat
Coklat
-
-
-
-
|
Merah
Merah
Merah
Merah
Biru
Biru
|
Coklat
Coklat
Coklat
-
-
-
|
Tabel 4. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil
eter polar Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampakan noda H2SO4 10%.
No urut Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||||
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
|
1
2
3
4
5
6
|
5,8
-
-
-
-
-
|
2,3
3,6
-
-
-
-
|
1
1,9
2,3
3,3
4,1
6
|
2
2,9
4,5
4,9
5,2
-
|
Orange
-
-
-
-
-
|
Coklat
Coklat
-
-
-
-
|
Orange
Orange
Orange
Biru
Biru
Orange
|
Orange
Orange
Orange
Orange
Orange
-
|
Tabel 5. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil
eter non polar Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampakan noda sinar UV 254 nm.
No
Urut
Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||||
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
|
1
2
3
4
5
|
5,5
-
-
-
-
|
1,7
3,3
-
-
-
|
1
1,9
2,8
4,2
-
|
3,4
4
4,7
5,3
5,7
|
Orange
-
-
-
-
|
Biru
Biru
-
-
-
|
Pink
Pink
Pink
Pink
-
|
Biru
Biru
Biru
Biru
Biru
|
Tabel 6. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil
eter non polar Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampakan noda H2SO4 10%.
No
Urut
Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||||
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
(6:4)
|
(7:3)
|
(8:2)
|
(9:1)
|
|
1
2
3
4
5
|
4,9
-
-
-
-
|
5,8
-
-
-
-
|
2,8
3,5
4
4,4
4,6
|
3,4
4,6
5,6
-
-
|
Kuning
-
-
-
-
|
Kuning
-
-
-
-
|
Merah
Merah
Merah
Coklat
Coklat
|
Biru
Biru
Biru
-
-
|
Tabel 7. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak n-Butanol
Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampak noda sinar UV 254 nm.
No urut Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
|
1
2
3
|
3,7
-
-
|
3,2
5,3
-
|
3,7
-
-
|
Merah
-
-
|
Coklat
Pink
-
|
Coklat
-
-
|
Tabel 8. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak
n-Butanol Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan
penampakan noda H2SO4 10%.
No urut Noda
|
Nilai Rf
|
Warna Pada UV 254 nm
|
||||
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
(10:6:1)
|
(15:6:1)
|
(20:6:1)
|
|
1
2
3
|
2,6
-
-
|
5
-
-
|
1,3
1,9
3,9
|
Pink
-
-
|
Pink
-
-
|
Coklat
Coklat
Coklat
|
Ekstrak
n-Butanol menggunakan eluen chloroform-methanol-air (10:6:1), (15:6:1), (20:6:1)
diperoleh masing-masing 1, 2 ,1 noda pada penampak noda UV dan 1, 1, 3 noda
pada penampak noda asam sulfat 10%.
B.
Pembahasan
Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) yang telah diserbukkan, diekstraksi secara pekolasi dengan pelarut metanol
oleh karena metanol merupakan pelarut yang bersifat semi polar dan penapisan
komponen kimianya dilakukan secara kromatografi lapis tipis dengan menggunakan
cairan pengelusi yang bersifat polar.
Pada ekstrak kental methanol menggunakan eluen polar
yaitu: chloroform, methanol dan air dengan perbandingan (10:6:1), (15:6:1),
(20:6:1). Masing-masing diperoleh satu noda yaitu noda warna merah pada
masing-masing lempeng dengan nilai Rf = 4,9 cm 5,4 cm dan 5,5 cm.
Setelah penyemprotan dengan H2SO4 10% diperoleh 2, 3, dan
1 noda pada masing-masing lempeng yaitu warna merah terdapat 2 noda dengan
perbandingan (10:6:1) dengan nilai Rf = 6 cm dan 6,1 cm. Warna orange terdapat
3 noda dengan perbandingan (15:6:1) dengan nilai Rf = 4,9 cm, 5,5 cm, dan 6,1
cm. Warna hijau terdapat 1 noda dengan perbandingan (20:6:1) dengan nilai Rf =
5 cm.
Ekstrak metanol yang telah disuspensikan dengan air,
diekstraksi dengan dietileter di dalam corong pisah, hal ini bertujuan
memisahkan komponen kimia yang bersifat non polar. Ekstrak dietil eter
diidentifikasi komponen kimia secara kromatografi lapis tipis menggunakan
cairan pengelusi polar benzen dan non polar n-heksan: etilasetat pada eluen
benzen dengan perbandingan (6:4), (7:3), (8:2), dan (9:1). Pada perbandinga
(6:4) diperoleh 1 noda warna orange dengan nilai Rf = 5,9. Pada perbandingan
(7:3) diperoleh 2 noda warna coklat dengan nilai Rf = 1,9 dan 3,9. Pada
perbandingan (8:2) diperoleh 6 noda warna merah dan biru dengan nilai Rf = 0,7,
1,3, 2, 3, 3,9 dan 6,2. Pada perbandingan (9:1) diperoleh 3 noda warna coklat
dengan nilai Rf = 0,6, 1,1 dan 2. Setelah penyemprotan dengan H2SO4
10%, pada perbandingan (6:4) diperoleh 1 noda yaitu warna orange dengan nilai
Rf = 5,8. Pada perbandingan (7:3) diperoleh 2 noda yaitu warna coklat dengan
nilai Rf = 2,3 dan 3,6. Pada perbandingan (8:2) diperoleh 6 noda yaitu warna
orange dan biru dengan nilai Rf = 1, 1,9, 2,3, 3,3 4,1 dan 6. Pada perbandingan
(9:1) diperoleh 5 noda yairu warna orange dengan nilai Rf = 2, 2,9, 4,5, 4,9
dan 5,2.
Etilasetat dengan menggunakan eluen n-Benzen pada
perbandingan (6:4) diperoleh 1 noda yaitu warna orange dengan nilai Rf = 5,5.
Pada perbandingan (7:3) diperoleh 2 noda yaitu warna biru dengan nilai Rf
= 1,2 dan 3,3. Pada perbandingan (8:2)
diperoleh 4 noda yaitu warna orange dengan nilai Rf = 1, 1,3, 2,8 dan 4,2. Pada
perbandingan (9:1) diperoleh 5 noda yaitu warna biru dengan nilai Rf = 3,4, 4,
4,7, 5,3 dan 5,7. Setalah di lakukan penyemprotan H2SO4
10%, diperoleh 1 noda yaitu warna kuning dengan nilai Rf = 4,9 pada
perbandingan (6:4). Pada perbandingan (7:3) diperoleh 1 noda yaitu warna kuning
dengan nilai Rf = 5,8. Pada perbandingan (8:2) diperoleh 5 noda yaitu warna
merah dan coklat dengan nilai Rf = 2,8, 3,5, 4, 4,4 dan 4,6. Pada perbandingan
(9:1) di peroleh 3 noda yaitu warna biru dengan nilai Rf = 3,4, 4,6, dan 5,6.
Lapisan air diekstraksi dengan n-butanol jenuh air
didalam corong pisah, hal ini bertujuan memisahkan komponen kimia yang bersifat
polar, penapisan komponen kimia secara kromatografi lapis tipis menggunakan
cairan pengelusi polar (chloroform-metanol-air) dengan perbandingan (10:6:1),
(15:6:1) dan (20:6:1) pada daun Boroco (Celosia argentea LINN.) diperoleh 1 noda yaitu warna merah dengan nilai Rf = 3,7
pada perbandingan (10:6:1). Pada perbandingan (15:6:1) diperoleh penampakan 2
noda yaitu warna pink dan coklat dengan nilai Rf = 3,2 dan 5,3. Pada
perbandingan (20:6:1) diperoleh penampakan 1 noda yaitu warna coklat dengan
nila Rf = 3,7. Setelah di lakukan penyemprotan H2SO4 10%,
diperoleh penampakan 1 noda yaitu warna pink dengan nilai Rf = 2,6 pada
perbandingan (10:6:1). Pada perbandingan (15:6:1) diperoleh penampakan 1 noda
yaitu warna pink dengan nilai Rf = 5. Pada perbandingan (20:6:1) diperoleh
penampakan 3 noda yaitu warna coklat dengan nilai Rf = 1,3, 1,9 dan 3,9. Karena
n-butanol merupakan pelarut yang bersifat polar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) mengandung
beberapa senyawa kimia yang bersifat polar dan non polar
2. Identifikasi secara kromatografi lapis tipis pada ekstrak
metanol kental diperoleh 3 senyawa, ekstrak dietileter diperoleh 13 senyawa
untuk eluen benzen serta 12 senyawa
untuk eluen n-heksan, dan ekstrak n-butanol diperoleh 4 senyawa.
3. Setelah dilakukan penyemprotan pada lempeng ekstrak
metanol kental diperoleh 6 senyawa, ekstrak dietileter diperoleh 14 senyawa
untuk eluen benzen serta 10 senyawa untk
eluen n-heksan, dan ekstrak n-butanol diperoleh 5 senyawa.
B.
Saran
Kami mengharapakan untuk kedepannya bimbingan dari
asisten pada saat praktikum penentuan senyawa lebih diperhatikan agar praktikan
tidak mengalami kendala yang berarti.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Depkes,
edisi VI, Jakarta. 426.
Grinberg,
N., 1990, Modern Thin Layer
Chromatography, Maecel Dekker, New York, 12, 157, 158, 163. 167, 183.
Harborne,J.B.,
1987, Metode Fitokimia: Cara Modern
Menganalisa Tumbuhan, edisi II, Terjemahan oleh K. Padmawinata dan I.
Soediro, ITB, Bandung, 13,14.
Harjana,
H., 2003, Kromatografi Lapis Tipis,
dalam Analisis Farmasi I, Fakultas farmasi, UNAIR, Surabaya, 9, 11, 14, 17.
Ling, D,L, 2004, A Healing Plant Scaevola
taccada,
Sastrohamidjojo, H., 1979, Kromatografi, Liberty, Yokyakarta, 35,36
Sudjadi.
1988, Metode Pemisahan, Kanisius,
Yokyakarta, 167-172, 174
Tobo,
F,.Mufidah, Taebe, B., Mahmud, A.I., 2001, Buku
Pegangan Laboratorium Fitokimia I, UNHAS, Makassar, 1, 83.
http://bood.cf.ac. uk/Botderm Foler/Botderm
G/GOOD.html.
Lampiran
UV 254 nm.
Daun
Boroco (Colesia argentea LINN.) dengan ekstrak metanol
10:6:1 15:6:1 20:6:1
H2SO4 10%, Daun
Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan ekstrak metanol
10:6:1 15:6:1 20:6:1
Gambar
1. Hasil Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak Metanol polar Daun Boroco
(Celosia argentea LINN.)
UV
254 nm. Daun Boroco (Celosia argentea LINN) ekstrak dietiletern, Benzen
6:4 7:3 8:2 9:1
H2SO4 10%. Daun Boroco (Celosia argentea Linn) ekstrak dietieter, Bezen
6:4 7:3 8:2 9:1
Gambar
2. Hasil Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak dietileter benzen Daun Boroco (Celosia
argentea LINN.)
UV 254 nm. Daun Boroco (Celosia argentea LINN) ekstrak dietileter n-Heksan
6:4 7:3
8:2 9:1
H2SO4 10%. Daun Boroco (Celosia argentea LINN) ekstrak dietileter n-Heksan
6:4 7:3 8:2 9:1
Gambar 3. Hasil Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Eter
n-Heksan Daun Boroco (Celosia
argentea LINN.)
UV 254 nm. Daun
Boroco (Colesia argentea LINN) ekstrak n-Butanol
10:6:1 15:6:1 20:6:1
H2SO4 10%. Daun
Boroco (Celosia argentea LINN)
ekstrak n-Butanol
10:6:1 15:6:1 20:6:1
Gambar
4. Hasil Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak n-Butanol Daun Boroco
(Celosia argentea LINN.)
1
2
3
4
|
Seperangkat Alat Kromatografi Lapis Tipis
Keterangan :
1. Penutup
2. Chember
3. Lempeng KLT (
Ukuran 3x 7,5 cm )
4. Cairan Pengelusi
1
2
3
4
|
Gambar Alat
Maserasi
Keterangan :
- Penutup
- Toples
- Cairan penyari metanol
- Sampel Daun Jarak Merah
Gambar 7. Foto Daun Boroco (Celosia argentea LINN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar