Minggu, 03 Juni 2012

fitokimia


BAB I
PENDAHULUAN

            Indonesia terkenal dengan khasanah tanaman obatnya. Namun deinikian, praktikum sekaligus pengembangan tanaman obat Indonesia dirasakan belum maksimal. Padahal, dunia barat kini diliputi semangat kembali ke alam, salah satunya mencari upaya pengobatan melalui bahan-bahan yang tersebar di alam (Pusat data & Informasi PERSI, 2001).
            Jauh sebelum pelayanan kesehatan internal dengan obat-obatan modern menyentuh masyarakat. Selain bagi ekonomi, efek samping ari obat herbal sangat kecil. Oleh karena itu, penggunaan obat herbal alami dengan formulasi yang sangat penting dan tentunya sangat aman dan efektif.
            Penggunaan tanaman obat untuk penyembuhan suatu penyakit didasarkan pada pengalaman secara turun-temurun diwariskan ke generasi berikutnya.
            Sementara itu pengujian dan praktikum secara ilmiah terhadap obat tradisional masih kurang, sehingga pemakaian secara medis belum dapat dipertanggung jawabkan untuk menunjang secara ilmiah agar mendapat tempat yang lebih luas dalam masyarakat maka perlu diadakan tahap-tahap praktikum terhadap obat tradisisonal.
            Salah satu tumbuhan yang digunakan secara empirik sebagai obat tradisional adalah Daun Mengkudu (Morinda Citrifolia). Suku Rubiceae, secara tradisional tumbuhan ini digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti Hipertensi, Sakit kuning, Demam, Influenza, Batuk, Sakit perut; Menghilangkan sisik pada kaki (Ling, Schinith, 2004).
Praktikum mengenai ekstraksi dan identifikasi kandungan kimia tumbuhan sangat diperlukan untuk mengetahui metode ekstraksi, cara-cara ekstraksi, serta identifikasi komponen kimia yang terkandung dalam suatu simplisia, oleh karena itu dalam usaha meningkatkan pemanfaatan tumbuhan obat dan pencarian bahan baku alamiah, maka sebagai langkah awal dipandang perlu untuk melakukan praktikum mengenai ekstraksi dan identifikasi kandungan kimia Daun mengtkudu, yang terlarut dalam pelarut metanol, dietil eter, dan n-butanol..
Maksud dari praktikum ini untuk mengekstraksi dan mengidentifikasi komponen kimia Daun mengtkudu secara maserasi dan kromatografi lapis tipis.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Uraian Tumbuhan
1.    Klasifikasi Tumbuhan
Kerajaan                    : Plantae
            Divisi                          : Spermatophyta
            Anak divisi                 : Magnoliophyta
            Kelas                          : Magnoliopsida
            Bangsa                       : Caryophyllales
            Suku                           : Amaranthaceae
            Genus                         : Celosia
            Jenis                           : Celosia argentea Linn
2.    Morfologi Tumbuhan
Bunga adalah batang dan daun yang termodifikasi. Modifikasi ini disebabkan oleh dihasilkannya sejumlah enzim yang dirangsang oleh sejumlah fitohormon tertentu. Pembentukan bunga dengan ketat dikendali secara genetic dan pada banyak jenis diinduksi oleh perubahan lingkungan tertentu, seperti suhu rendah, lama pencahayaan, dan ketersediaan air. Bungan hamper selalu berbentuk simetris, yang sering dapat digunakan sebagai penciri suatu takson. Ada dua bentuk bunga berdasar simetri.
 (Celosia argentea Linn) termasuk jenis kopi-kopian. Mengkudu dapat tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian tanah 1500 meter diatas permukaan laut. Mengkudu merupakan tumbuhan asli dari Indonesi. Tumbuhan ini mempunyai batang tidak terlalu besar dengan tinggi pohon 3-8 m. Daunnya bersusun berhadapan, panjang daun 20-40 cm dan lebar 7-15 cm. Bunganya berbentuk bungan bongkol yang kecil-kecil dan berwarna putih. Buahnya berwarna hijau mengkilap dan berwujud buah buni berbentuk lonjong dengan variasi trotol-trotol. Bijinya banyak dan kecil-kecil terdapat dalam daging buah. Pada umumnya tumbuhan mengkudu berkembang biak secara liar di hutan-hutan atau dipelihara orang pinggiran-pinggiran kebun rumah.

3.    Kandungan Kimia
Buah buni tumbuhan mengkudu yang telah masak mempunyai aroma yang tidak sedap, namun mengandung sejumlah zat yang berkhasiat untuk pengobatan. Adapun kandungan zat tersebut antara lain morinda diol, morindone, morindin, damnacanthal, metil asetil, asam kapril dan sorandiyiol.

4.    Kegunaan
Hipertensi, Sakit kuning, Demam, Influenza, Batuk, Sakit perut; Menghilangkan sisik pada kaki;.


B.   Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan begitu pula ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut tertentu untuk mengekstraksinya ( Tobo F, dkk, 2001).
Umumnya zat aktif yang terkandung dalam tumbuhan maupun hewan lebih mudah tarut dalam petarut organik. Proses terekstraksinya zat aktif dimulai ketika pelarut organik menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga set yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi ke luar sel, dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Tobo F, dkk, 2001).
Jenis-jenis ekstraksi :
1.    Ekstraksi secara maserasi
Maserasi adalah cara penyaringan ynag sedehana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari (biasanya 5 hari) pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.
Maserasi umumnya dilakukan dengan cara memasukkan simplisia yang sudah diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian ke dalam bejana maserasi yang di lengkapi dengan pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada suhu kamar, terlindung dan cahaya sambil berulang-ulang diaduk, seteiah 5 hari disaring ke dalam wadah penampung, kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyani lagi secukupnya dan diaduk kemudian disaning lagi hingga diperoleh sari sebanyak 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung dan cahaya selama 2 hari,endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dan dipekatkan (Tobo F, dkk, 2001, Samulsson, 1999).
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari, selama beberapa hari pada suhu kamar, terlindung dan cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang komponen kimianya mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks, dan lilin.
2.    Ekstraksi secara perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yqang dilakukan dengan mengalirkancairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan cara perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang pada bagian bawahnya diberi sekat berpori.
3.    Ektraksi secara soxhletasi
Soxhlet adalah merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari di dalam labu alas bulat dipanaskan sehingga menguap, dan uap cairan penyari mengembun menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan jatuh ke dalam selongsong membasahi simplisia sambil mengekatraksi zat aktif yang ada di dalam sel-sel simplisia dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melalui pipa kapiler (sifon), proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif yang sempurna yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang bmelalui pipasifon (sekitar 20-25 kali sirkulasi) atau jika diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis tidak menampakkan noda lagi.
4.    Ekstraksi secara refluks
Refluks adalah penyarian yang termasuk dalam metode berkesinambungan, cairan penyari secara kontinyu menyari zaqt aktif dalam simplisia.cairan penyari dipanaskan sehingga menguap dan uap cairan penyari tersebut selanjutnya mengalami kondensasi (pengembunan) pada pendingin balik menjadi molekul-molekul cairan penyari yangselanjutnya jatuh ke dalam labu las bulat dan menyari zat aktif yang ada di dalam sel simplisia, proses ini berlangsung secara berkesinambungan sampai ekstraksi dinyatakan selesai.
5.    Ekstraksi secara destilasi uap air
Destilasi dilakukan dengan cara mendidihkan sampel dalam katel atau dengan cara mengalirkan uap jenuh (saturated or superheated) dari katel pendidih air ke dalam katel penyulingan.
6.    Ekstraksi secara infusa
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90­0 C selama 15 menit.

7.      Ekstraksi Cair - Cair
Ekstraksi cair - cair adalah suatu metode ekstraksi yang menggunakan corong pisah sehingga biasa juga disebut dengan ekstraksi corong pisah.





Kata cair-cair berarti bahwa dua cairan yang dicampur di dalam proses ekstraksi. Ini berarti bahwa kedua cairan itu akan membentuk dua lapisan ketika dicampur bersama seperti air dan pelarut organik (dietil eter, dikiorometan, n– butanol, dll.). Senyawa-senyawa yang lebih larut dalam lapisan organik akan tertarik ke lapisan organik sedangkan senyawa-senyawa yang lebih larut dalam lapisan air akan tertarik ke air. Jadi ekstraksi cair-cair adalah suatu proses pemisahan yang didasarkan pada kelarutan relatif dan zat terlarut di dalam dua pelarut yang tidak bercampur. Dua pelarut yang tidak bercarapur dikocok di dalam corong pisah hingga membentuk dua lapisan antarmuka dan pelarut. Tetesan-tetesan kecil dan kedua pelarut akan menjadikan luas permukaan yang lebih besar dan mempercepat terjadinya kesetimbangan zat terlarut antara dua sistem pelarut. Proses ini disebut ekstraksi atau partisi sampel antara dua pelarut. Pengocokan dihentikan dan pelarut yang tidak bercampur akan memisah. Dimana zat terlarut melarut dengan mudah dan menjadi lebih pekat di dalam pelarut dimana kelarutannya lebih besar. Lapisan cairan yang berada di atas dan yang berada di bawah itu bergantung kepada kerapatan relatif dan kedua pelarut. Pelarut yang lebih ringan akan berada di lapisan atas (Misalnya eter) dan pelarut yang lebih berat akan berada di lapisan bawah (Misalnya air).
Pemisahan sebagian terjadi ketika sejumlah zat terlarut mempunyai kelarutan relatif yang berbeda di dalam dua pelarut yang digunakan. Koefisien distribusi menentukan perbandingan konsentrasi dan zat terlarut di dalam masing - masing pelarut. Senyawa - senyawa yang dipisahkan tetap kontak di dalam kedua pelarut dan terlarut di dalam masing - masing pelarut sesuai dengan perbandingan yang ditentukan oleh koefisien distribusi (Pavia, 1985).












            Berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi zat akatif di dalam dan di luar sel. (Tobo. F, dkk. 2001),

D.   Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah salah satu cara analisis yang digunakan untuk memisahkan komponen secara cepat berdasarkan prinsip adsorpsi dan partisi. Metode ini sangat sesuai untuk analisis kualitatif campuran dalam skala mikro. Kromatografi ini menggunakan lempengan kaca atau aluminium yang dilapisi dengan adsorben berupa serbuk halus yang serba rata pada lempeng dengan ketebalan 0,1 - 0,25 mm.
Kromatografi lapis tipis dapat dianggap sebagai kromatografi kolom terbuka. Selapis tipis fase diam dilekatkan pada lempeng gelas/plastik/aluminium. Kadang - kadang fase diam ini ditempelkan dengan bantuan pelekat seperti gips, pati atau polivinilalkohol. Sampel ditotolkan atau ‘digariskan” pada salah satu ujung kolom sejarak 1,5 - 2,5 cm di atas tepi bawah, kemudian tepi ini direndamkan dalam suatu pelarut pengembang setinggi 0,5 - 1 cm dalam suatu bejana kromatografi. Pelarut pengembang bergerak sepanjang lapisan fase diam memisahkan komponen - komponen dalam contoh menjadi zona/noda pada lempeng. Noda ini langsung dapat terlihat bila senyawanya berwarna. Namun hampir semua senyawa obat tidak dapat dideteksi dengan radiasi tampak, karenanya noda dideteksi dengan radiasi UV atau dengan semprotan pereaksi yang menghasilkan warna. Beberapa senyawa obat dapat menghasilkan fluoresensi dan beberapa dapat meredupkan fluoresensi. Untuk senyawa yang meredupkan fluoresensi lempeng KLT diberi bahan pemendar, misalnya zink silikat (Harjana, 2003).

a.    Fase diam
Fase diam dalam kromatografi lapis tipis adalah bagian yang bertindak sebagai penjerap yang berupa padatan (silikagel, alumina, kieselguhr, selulosa, polimida, dll.). Pemilihan penjerap terbaik ditentukan oleh senyawa yang akan dipisahkan:
1.    Sifat kelarutan, apakah senyawa hidrofil atau lipofil.
2.    Reaksinya asam, basa atau netral.
3.    Apakah ada reaksi antara zat terlarut dengan penjerap atau pelarut pengembang.
Kalau zat terlarut bersifat hidrofli maka dipakai selulosa, Kieselguhr atau polimida. Sedangkan kalau zat terlarut bersifat lipofil dapat dipakai alumina, silikagel, asetil selulosa atau polimida.

b.    Fase Gerak
Fase gerak di dalam KLT adalah bagian yang bertindak sebagai pelarut pengembang yang akan membawa senyawa – senyawa yang akan dipisahkan dalam arah menaik. Pemilihan pelarut yang terbaik merupakan tahap yang kritis. Kalau komponen



















dalam campuran sama sekali tidak diketahui maka pelarut terbaik dicari dengan “coba-galat” dengan menggunakan KLT yang lebih kecil. Pendekatan yang paling rnudah adalah tes kelarutan dan sampel. Kalau komponen diketahui indikasinya. maka sifat-sifat fisika-kimia dapat dipakai sebagai pertimbangan pemilihan pelarut. Salah satu cara adalah dengan menggunakan segitiga Stahl. Kebanyakan pelarut pengembang terdiri dan kombinasi dua atau lebih pelarut organik, dengan tujuan agar campuran ini rnempunyai sifat elusi diantara kedua pelarut yang tidak dapat dicapai oleh satu pelarut saja. Pelarut untuk kromatografi harus semurni mungkin agar didapat kromatogram yang tinerulang dan noda asal pengotor pelarut dapat ditekan.
c.    Konsentrasi Sampel Untuk KLT
Untuk mendapatkan pemisahan yang baik dan zona yang jelas maka konsentrasi sampel yang digunakan untuk KLT haruslah sekecil mungkin. Konsentrasi yang besar dan sampel akan memberikan zona pemisahan yang tumpang tindih (overload)

d.    Identifikasi dan Harga Rf
Identifikasi dan senyawa - senyawa yang terpisah pada lapisan tipis lebih baik dilakukan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi – reaksi warna.
Tetapi lazimnya untuk identifikasi menggunakan harga Rf. Harga Rf didefinisikan sebagai berikut:
Rf
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf:
1.    Struktur kimia dan senyawa yang sedang dipisahkan
2.    Pelarut
3.    Tebal dan kerataan dan lapisan penyerap
4.    Sifat dan penyerap dan derajat aktifitasnya
5.    Kejenuhari ruangan akan pelarut
6.    Teknik percobaan
7.    Jumlah cuplikan yang digunakan
8.    Suhu
9.    Kesetimbangan
10. Konsentrasi dan komposisi larutan yang diperiksa
11. Panjang trayek inigrasi
12. Ketidakhomogenan kertas
13. Arah serabut kertas
14. Kelembaban udara ( Sastrohainidjojo, 1979)





BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

A.   Alat dan bahan

1.    Alat-alat yang digunakan

a.  Alat perkolator
b.  Corong gelas
c.   Corong pisah                                                                                           
d.  Gelas piala                                                                                               
e.  Kamera digital                                                                             
f.    Lampu UV 366 nm                                                                      
g.  Seperangkat alat KLTP

2.    Bahan-bahan yang digunakan

a.  Air suling               
b.  Asam sulfat p.a
c.   Daun Boroco (Celosia argentea LINN)           
d.  Dietil eter p.a       
e.  Etil asetat p.a       
f.    Heksan p.a           
g.  Metanol p.a                                  
h.   Lempeng Silika gel F254

B.  Prosedur Kerja

1.    Pengambilan Sampel
Sampel berupa Daun Boroco (Celosia argentea LINN) diambil dari daerah Kalimantan Timur kota Nunukan.
2.    Pengolahan Sampel
Daun dibersihkan kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan tidak terkena cahaya matahari langsung selanjutnya digunting kecil-kecil dan diserbukkan dengan derajat halus serbuk 4/18. (Depkes, 1995)
3.    Proses Ekstraksi
a.    Ekstraksi sampel secara perkolasi dengan methanol
Percolator dicuci sampai bersih, dikeringkan kemdian dibilas dengan methanol (sekaligus menguji kebocoran) dan dipasang dengan kuat pada statif. Simplisia yang telah diserbuk ditimbang 150 gram kemudian dibasahi dengan pelarut methanol dalam gelas kimia dan dibiarkan megembang selama 3 jam. Setelah itu massa dipindahkan ke dalam percolator dan diratakan dengan batang pengaduk, kemudian diberi kertas saring atau kapas pada bagian atas massa (simplisia) lalu ditambahkan cairan penyari (sebaiknya gunakan reservoir cairan penyari). Setalah percolator sudah penuh dengan cairan penyari maka kran percolator dibuka dan tetasan perkolatnya diatur dengan kecepatan 1 ml per menit. Perkolat yang keluar ditampung dalam wadah penampung, sementara cairan penyari ditambah pada bagian atas percolator secara kontinu. Perkolat dikumpulkan dan di enaptuangkan selama semalam. Filtrate dan endapan dipisahkan, selanjutnya filtrate diuapkan hingga kering dan diidentifikasi komponen kimianya secara kromatografi lapis tipisl. (Penuntun praktikum fitokimia. 2010)
b.    Ekstraksi dengan dietil eter
Ekstrak kering metanol ditambahkan air sebanyak 30 ml, kemudian diekstraksi dengan 30 ml dietil eter dalam corong pisah sebanyak 3 kali. Lapisan eter dikumpulkan dan dikisatkan dengan rotavapor sampai diperoleh ekstrak kental dan selanjutnya diuapkan pelarutnya hingga kering.  Ekstrak kering yang diperoleh ditimbang. Sebagian ekstrak eter diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis (Darise, 1992).
c.    Ekstraksi dengan n-butanol jenuh air
Lapisan air dan ekstrak eter selanjutnya diekstraksi dengan 53 ml n-butanol jenuh air dalam corong  pisah, dilakukan sebanyak 3-kali. Ekstrak n-butanol yang diperoleh dikumpulkan dan kisatkan dengan rotavapor sampai diperoleh ekstrak kental, selanjutnya diuapkan pelarutnya hingga kering. Ekstrak kering yang diperoleh ditimbang. Sebagian ekstrak n-butanol diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis (Darise, 1992).
4.    Identifikasi Komponen Kimia Secara Kromatografi Lapis Tipis
a.    Lempeng Kromatografi Lapis Tipis
Lempeng yang akan digunakan adalah lempeng Silika gel F254 Sebagai fase geraknya. Lempeng diaktifkan dalam oven pada suhu 105 - 110°C, selama 30 menit (setelah diaktifkan lempeng dikeluarkan dan siap digunakan). (Harborne, 1987).
b.    Cairan pengelusi yang digunakan
1.    Ekstrak metanol menggunakan eluen etil asetat : etanol : air
2.    Ekstrak dietileter menggunakan heksan-etil asetat (8:2), (7:3), dan (6:4).
c.    Penjenuhan Chamber
Eluen yang akan digunakan sebagai fase gerak dimasukkan ke dalam chamber yang bertutup sebanyak 0,5 mm. Ke dalam eluen tersebut kemudian dimasukkan potongan kertas saring yang dilebihkan sampai keluar dan chamber. Jika kertas saring pada bagian luar chamber sudah basah menunjukkan bahwa chamber tersebut sudah jenuh dan siap digunakan (Sudjadi, 1988).
d.    Penotolan Sampel Pada Lempeng
Dibuat garis lurus pada lempeng dengan menggunakan pensil kira-kira pada jarak 1,0 cm dan bawah dan 0,5 cm dan bagian atas. Ekstrak metanol. ekstrak eter dan sampel ditotolkan pada garis bagian bawah lempeng dengan menggunakan pipa kapiler secara tegak lurus sehingga diperoleh penotolan yang sempurna. Lempeng tersebut kemudian diangin-anginkan lalu dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan eluen dengan menggunakan pinset. Posisi lempeng berdiri dengan kemiringan ± 50 dan dinding chamber. Chamber ditutup dan lempeng dibiarkan terelusi sampai batas tanda pada bagian atas lempeng (Sudjadi, 1988).
e.  Deteksi noda dengan lampu UV- 366 nm
Lempeng dikeluarkan dan chamber, diangin-anginkan sampai kering kemudian diamati di bawah lampu UV-366 nm. Noda-noda yang tampak digambar di kertas kalkir dan diberi keterangan dan warna sesuai penampakan yang terjadi (Sudjadi, 1988).
5.    Deteksi noda dengan H2S04 10 %
Noda - noda yang telah diamati dengan lampu UV-366 nm disemprot dengan H2S04 10%, diangin-anginkan kemudian dipanaskan pada suhu 100o C selama 3 - 5 menit hingga diperoleh noda yang stabil. Noda yang tampak kemudian digambar pada kertas kalkir dan diberi keterangan dan warna sesuai dengan penampakan yang terjadi (Sudjadi, 1988).



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.   Hasil praktikum
Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) di ekstraksi dengan menggunakan metode perkolasi menghasilkan ekstrak metanol, dieti eter dan n-Butanol kemudian di identifikasi dengan Kromatografi lapis tipis menggunakan cairan pengelusi khloroform-methanol-ari untuk ekstrak methanol dan dietil eter dengan perbandingan (10:6:1), (15:6:1), (20:6:1)  serta benzene etilasetat-n Heksan digunaka ekstrak n-Butanol dengan perbandingan (6:4), (7:3), (8:2), (9:1).
Tabel 1. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak methanol polar Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampak noda sinar UV 254 nm.

No urut Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
1
2
3
5,5
-
-
5,4
-
-
4,9
-
-
Merah
-
-
Merah
-
-
Merah
-
-

Tabel 2. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak methanol polar Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampak noda H2SO4 10%.


No urut Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
1
2
3
6
6,1
-
4,9
5,5
6,1
5
-
-
Merah
Merah
-
Merah
Merah
Merah
Hijau
-
-


Tabel 3.  Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil eter polar Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampakan noda sinar UV 254 nm.
                                                                                    
No urut Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
1
2
3
4
5
6
5.9
-
-
-
-
-
1,9
3,9
-
-
-
-
0,7
1,3
2
3
3,9
6,2
0,6
1,1
2
-
-
-
Orange
-
-
-
-
-
Coklat
Coklat
-
-
-
-                                                                                                                                                                          
Merah
Merah
Merah
Merah
Biru
Biru
Coklat
Coklat
Coklat
-
-
-
         
Tabel 4. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil eter polar Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampakan noda H2SO4  10%.
                                                                                 
No urut Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
1
2
3
4
5
6
5,8
-
-
-
-
-
2,3
3,6
-
-
-
-
1
1,9
2,3
3,3
4,1
6
2
2,9
4,5
4,9
5,2
-
Orange
-
-
-
-
-
Coklat
Coklat
-
-
-
-
Orange
Orange
Orange
Biru
Biru
Orange
Orange
Orange
Orange
Orange
Orange
-

Tabel 5. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil eter non polar Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampakan noda sinar UV 254 nm.

No
Urut
Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
1
2
3
4
5
5,5
-
-
-
-
1,7
3,3
-
-
-
1
1,9
2,8
4,2
-
3,4
4
4,7
5,3
5,7
Orange
-
-
-
-
Biru
Biru
-
-
-
Pink
Pink
Pink
Pink
-
Biru
Biru
Biru
Biru
Biru

Tabel 6. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak dietil eter non polar Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampakan noda H2SO4  10%.



No
Urut
Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
(6:4)
(7:3)
(8:2)
(9:1)
1
2
3
4
5
4,9
-
-
-
-
5,8
-
-
-
-
2,8
3,5
4
4,4
4,6
3,4
4,6
5,6
-
-
Kuning
-
-
-
-
Kuning
-
-
-
-
Merah
Merah
Merah
Coklat
Coklat
Biru
Biru
Biru
-
-

Tabel 7. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak n-Butanol Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampak noda sinar UV 254 nm.

No urut Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
1
2
3
3,7
-
-
3,2
5,3
-
3,7
-
-
Merah
-
-
Coklat
Pink
-
Coklat
-
-

Tabel 8. Daftar nilai Rf dan warna noda hasil KLT ekstrak n-Butanol Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan penampakan noda H2SO4  10%.







No urut Noda
Nilai Rf
Warna Pada UV 254 nm
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
(10:6:1)
(15:6:1)
(20:6:1)
1
2
3
2,6
-
-
5
-
-
1,3
1,9
3,9
Pink
-
-
Pink
-
-
Coklat
Coklat
Coklat

   Ekstrak n-Butanol menggunakan eluen chloroform-methanol-air (10:6:1), (15:6:1), (20:6:1) diperoleh masing-masing 1, 2 ,1 noda pada penampak noda UV dan 1, 1, 3 noda pada penampak noda asam sulfat 10%.


B.   Pembahasan
Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) yang telah diserbukkan, diekstraksi secara pekolasi dengan pelarut metanol oleh karena metanol merupakan pelarut yang bersifat semi polar dan penapisan komponen kimianya dilakukan secara kromatografi lapis tipis dengan menggunakan cairan pengelusi yang bersifat polar.
Pada ekstrak kental methanol menggunakan eluen polar yaitu: chloroform, methanol dan air dengan perbandingan (10:6:1), (15:6:1), (20:6:1). Masing-masing diperoleh satu noda yaitu noda warna merah pada masing-masing lempeng dengan nilai Rf = 4,9 cm 5,4 cm dan 5,5 cm. Setelah penyemprotan dengan H2SO4 10% diperoleh 2, 3, dan 1 noda pada masing-masing lempeng yaitu warna merah terdapat 2 noda dengan perbandingan (10:6:1) dengan nilai Rf = 6 cm dan 6,1 cm. Warna orange terdapat 3 noda dengan perbandingan (15:6:1) dengan nilai Rf = 4,9 cm, 5,5 cm, dan 6,1 cm. Warna hijau terdapat 1 noda dengan perbandingan (20:6:1) dengan nilai Rf = 5 cm.
Ekstrak metanol yang telah disuspensikan dengan air, diekstraksi dengan dietileter di dalam corong pisah, hal ini bertujuan memisahkan komponen kimia yang bersifat non polar. Ekstrak dietil eter diidentifikasi komponen kimia secara kromatografi lapis tipis menggunakan cairan pengelusi polar benzen dan non polar n-heksan: etilasetat pada eluen benzen dengan perbandingan (6:4), (7:3), (8:2), dan (9:1). Pada perbandinga (6:4) diperoleh 1 noda warna orange dengan nilai Rf = 5,9. Pada perbandingan (7:3) diperoleh 2 noda warna coklat dengan nilai Rf = 1,9 dan 3,9. Pada perbandingan (8:2) diperoleh 6 noda warna merah dan biru dengan nilai Rf = 0,7, 1,3, 2, 3, 3,9 dan 6,2. Pada perbandingan (9:1) diperoleh 3 noda warna coklat dengan nilai Rf = 0,6, 1,1 dan 2. Setelah penyemprotan dengan H2SO4 10%, pada perbandingan (6:4) diperoleh 1 noda yaitu warna orange dengan nilai Rf = 5,8. Pada perbandingan (7:3) diperoleh 2 noda yaitu warna coklat dengan nilai Rf = 2,3 dan 3,6. Pada perbandingan (8:2) diperoleh 6 noda yaitu warna orange dan biru dengan nilai Rf = 1, 1,9, 2,3, 3,3 4,1 dan 6. Pada perbandingan (9:1) diperoleh 5 noda yairu warna orange dengan nilai Rf = 2, 2,9, 4,5, 4,9 dan 5,2.
Etilasetat dengan menggunakan eluen n-Benzen pada perbandingan (6:4) diperoleh 1 noda yaitu warna orange dengan nilai Rf = 5,5. Pada perbandingan (7:3) diperoleh 2 noda yaitu warna biru dengan nilai Rf =  1,2 dan 3,3. Pada perbandingan (8:2) diperoleh 4 noda yaitu warna orange dengan nilai Rf = 1, 1,3, 2,8 dan 4,2. Pada perbandingan (9:1) diperoleh 5 noda yaitu warna biru dengan nilai Rf = 3,4, 4, 4,7, 5,3 dan 5,7. Setalah di lakukan penyemprotan H2SO4 10%, diperoleh 1 noda yaitu warna kuning dengan nilai Rf = 4,9 pada perbandingan (6:4). Pada perbandingan (7:3) diperoleh 1 noda yaitu warna kuning dengan nilai Rf = 5,8. Pada perbandingan (8:2) diperoleh 5 noda yaitu warna merah dan coklat dengan nilai Rf = 2,8, 3,5, 4, 4,4 dan 4,6. Pada perbandingan (9:1) di peroleh 3 noda yaitu warna biru dengan nilai Rf = 3,4, 4,6, dan 5,6.
Lapisan air diekstraksi dengan n-butanol jenuh air didalam corong pisah, hal ini bertujuan memisahkan komponen kimia yang bersifat polar, penapisan komponen kimia secara kromatografi lapis tipis menggunakan cairan pengelusi polar (chloroform-metanol-air) dengan perbandingan (10:6:1), (15:6:1) dan (20:6:1) pada daun Boroco (Celosia argentea LINN.) diperoleh 1 noda yaitu warna merah dengan nilai Rf = 3,7 pada perbandingan (10:6:1). Pada perbandingan (15:6:1) diperoleh penampakan 2 noda yaitu warna pink dan coklat dengan nilai Rf = 3,2 dan 5,3. Pada perbandingan (20:6:1) diperoleh penampakan 1 noda yaitu warna coklat dengan nila Rf = 3,7. Setelah di lakukan penyemprotan H2SO4 10%, diperoleh penampakan 1 noda yaitu warna pink dengan nilai Rf = 2,6 pada perbandingan (10:6:1). Pada perbandingan (15:6:1) diperoleh penampakan 1 noda yaitu warna pink dengan nilai Rf = 5. Pada perbandingan (20:6:1) diperoleh penampakan 3 noda yaitu warna coklat dengan nilai Rf = 1,3, 1,9 dan 3,9. Karena n-butanol merupakan pelarut yang bersifat polar. 




BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1.    Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) mengandung beberapa senyawa kimia yang bersifat polar dan non polar
2.    Identifikasi secara kromatografi lapis tipis pada ekstrak metanol kental diperoleh 3 senyawa, ekstrak dietileter diperoleh 13 senyawa untuk eluen benzen serta  12 senyawa untuk eluen n-heksan, dan ekstrak n-butanol diperoleh 4 senyawa.
3.    Setelah dilakukan penyemprotan pada lempeng ekstrak metanol kental diperoleh 6 senyawa, ekstrak dietileter diperoleh 14 senyawa untuk eluen benzen serta  10 senyawa untk eluen n-heksan, dan ekstrak n-butanol diperoleh 5 senyawa.

B.   Saran
Kami mengharapakan untuk kedepannya bimbingan dari asisten pada saat praktikum penentuan senyawa lebih diperhatikan agar praktikan tidak mengalami kendala yang berarti.  


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Depkes, edisi VI, Jakarta. 426.

Grinberg, N., 1990, Modern Thin Layer Chromatography, Maecel Dekker, New York, 12, 157, 158, 163. 167, 183.

Harborne,J.B., 1987, Metode Fitokimia: Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, edisi II, Terjemahan oleh K. Padmawinata dan I. Soediro, ITB, Bandung, 13,14.

Harjana, H., 2003, Kromatografi Lapis Tipis, dalam Analisis Farmasi I, Fakultas farmasi, UNAIR, Surabaya, 9, 11, 14, 17.

Ling, D,L, 2004, A Healing Plant Scaevola taccada,
           
Sastrohamidjojo, H., 1979, Kromatografi, Liberty, Yokyakarta, 35,36
Sudjadi. 1988, Metode Pemisahan, Kanisius, Yokyakarta, 167-172, 174

Tobo, F,.Mufidah, Taebe, B., Mahmud, A.I., 2001, Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia I, UNHAS, Makassar, 1, 83.

http://bood.cf.ac. uk/Botderm Foler/Botderm G/GOOD.html.











Lampiran
UV 254 nm. Daun Boroco (Colesia argentea LINN.) dengan ekstrak metanol











                            10:6:1                   15:6:1                     20:6:1




H2SO4 10%, Daun Boroco (Celosia argentea LINN.) dengan ekstrak metanol














                            10:6:1                    15:6:1                     20:6:1
Gambar 1.  Hasil Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Metanol polar Daun Boroco   (Celosia argentea LINN.)
UV 254 nm. Daun Boroco (Celosia argentea LINN) ekstrak dietiletern, Benzen
 








                            6:4                    7:3                          8:2                        9:1 


H2SO4 10%. Daun Boroco (Celosia argentea Linn) ekstrak dietieter, Bezen








                             6:4                          7:3                          8:2                        9:1
                                                   
Gambar 2.  Hasil Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak dietileter benzen Daun Boroco   (Celosia argentea LINN.)



UV 254 nm. Daun Boroco (Celosia argentea LINN) ekstrak dietileter n-Heksan
                                                                      






                               6:4                           7:3                        8:2                       9:1

H2SO4 10%. Daun Boroco (Celosia argentea LINN) ekstrak dietileter n-Heksan
 







                                   6:4                           7:3                        8:2                       9:1
Gambar 3. Hasil Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Eter n-Heksan Daun Boroco (Celosia  argentea LINN.)
UV 254 nm. Daun Boroco (Colesia argentea LINN) ekstrak n-Butanol
 









                               10:6:1               15:6:1             20:6:1
H2SO4 10%. Daun Boroco (Celosia argentea LINN) ekstrak n-Butanol
                   
           
 



       



                                          10:6:1               15:6:1             20:6:1

Gambar 4.  Hasil Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak n-Butanol Daun Boroco   (Celosia argentea LINN.)
1


2






3


4
 











                  Seperangkat Alat Kromatografi Lapis Tipis
                                                                                                              
Keterangan :
1.    Penutup
2.    Chember
3.    Lempeng KLT  ( Ukuran  3x 7,5 cm )
4.    Cairan  Pengelusi








1

2




3





4
 









                                 Gambar Alat Maserasi
Keterangan :
  1. Penutup
  2. Toples
  3. Cairan penyari metanol
  4. Sampel  Daun Jarak Merah










                                               








Gambar 7. Foto Daun Boroco (Celosia argentea LINN)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar